Download makalah ini Disini Gratis
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Pembaharuan Pemikiran Modern Dalam Islam
Kata “ Pembaharuan ” merupakan terjemahan dari kata “ modern ”
dalam bahasa Inggris dan “ Tajdid ” dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Indonesia
juga telah lazim digunakan kata modern, modernisasi, modernisme, dan
modernitas.
Kata pembaharuan islam mempunyai makna “ Modernisasi “, yaitu ajaran
islam yang bersifat relative dan terbuka untuk pembaharuan serta perubahan.
Tajdid secara harfiah berarti pembaharuan, pelakaunya disebut Mujaddin.
Sedangkan menurut istilah berarti pembaruan dalam keberagaman, baiik berbentuk
pemikiran maupun gerakan sebagai reaksi terhadapo tantangan-tantangan
internal/ekstenal yang menyangkut keyakinan dan urusan sosial umat.
Banyak sekali peristilahan yang digunakan para penulis
yang dalam bahasa Indonesia berkonotasi pembaharuan, umpamanya tajdid, ishlah,
reformasi, ‘ashriyah, modernisasi, revivalisasi, resurgensi (resurgence),
reassersi (reassertion), renaisans, dan fundamentalis. Peristilahan seperti ini
timbul, bukan sekedar perbedaan semantik belaka, akan tetapi dilihat dari isi
pembaharuan itu sendiri.
1.Tajdid, Ishlah, dan Reformasi
Tajdid sering diartikan sebagai ishlah dan reformasi;
karena itu, gerakannya disebut gerakan tajdid, gerakan ishlah, dan gerakan
reformasi. Tajdid menurut bahasa al-i’adah wa al-ihya’, mengembalikan dan
menghidupkan. Tajdid al-din, berarti mengembalikannya kepada apa yang pernah
ada pada masa salaf, generasi muslim awal. Tajdid al-Din menurut istilah ialah
menghidupkan dan membangkitkan ilmu dan amal yang telah diterangkan oleh
al-Quran dan al-Sunnah.
2.‘Ashriyah dan Modernisasi
Istilah modernisasi atau ashriyah (Arab)
diberikan oleh kaum Orientalis terhadap gerakan Islam tersebut di atas tanpa
membedakan isi gerakan itu sendiri. Modernisasi, dalam masyarakat Barat,
mengandung arti fikiran, aliran, gerakan dan usaha-usaha untuk merubah
faham-faham, adat istiadat, institusi-institusi lama, dan sebagai-nya untuk
disesuaikan dengan suasana baru yang ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi modern. Tatkala umat Islam kontak dengan Barat, maka modernisasi
dari Barat membawa kepada ide-ide baru ke dunia Islam, seperti rasionalisme,
nasionalisme, demok-rasi, dan lain sebagainya.
3.Revivalisasi, Resurgensi, Renaisans, Reasersi
Renaisans, jika hanya diartikan
secara umum nampaknya membangkitkan kembali ke masa-masa yang sudah ketinggalan
zaman, bahkan ada konotasi menghidupkan kembali masa jahiliyah, sebagaimana
renaisans di Eropa yang berarti meng-hidupkan kembali peradaban Yunani. Jika istilah ini terpaksa digunakan, maka Renaisans Islam
harus berarti tajdid .
Demikianlah
istilah tajdid, pembaharuan, yaitu dikemukakan oleh para ahli, mereka bukan
hanya sekedar berbeda pendapat dalam hal istilah yang digunakan, akan tetapi
dalam makna dan isi pembaharuan itu sendiri
B. Latar
Belakang Pembaharuan Dalam Islam
Mulai abad
pertengahan merupakan abad gemilang bagi umat Islam. Abad inilah daerahdaerah
Islam meluas di barat melalui Afrika Utara sampai Spanyol, di TimurMelalui
Pesia sampai India. Daerah-daerah ini kepada kekuasaan kholifah yang pada
mulanya berkedudukan di Madinah, kemudian di Damaskus, dan terakhir di Bagdad. Dabad
ini lahir para pemikir dan ulama besar seperti Maliki, Syafi’I, Hanafi, dan Hambali.
Dengan lahirnya pemikiran para ulama besar itu, maka ilmu pengetahuan lahir dan
berkembang dengan pesat sampai ke puncaknya, baik dalam bidang agama,non agama
maupun dalam bidang kebudayaan lainnya. Memasuki benua Eropa melalui
Spanyol dan Sisilia, dan inilah yang menjadi dasar dari ilmu pengetahuan
yangmenguasai alam pikiran orang barat (Eropa) pada abad selanjutnya.
Di pandang dari
segi sejarah kebudayaan, maka maka tugas memelihara dan menyebarkan ilmu
pengetahuan itu tidaklah kecil nilainya dibanding dengan mencipta ilmu pengetahuan.
Di antara yang mendorong timbulnya pembaharuan dan kebangkitan Islam adalah:
Pertama,paham
tauhid yang dianut kaum muslimin telah bercampur dengan kebiasaan-kebiasaan
yang dipengaruhi oleh tarekat-tarekat, pemujaan terhadap orang-orang yang suci
dan hal lain yang membawa kepada kekufuran.
Kedua, sifat
jumud membuat umat Islam berhenti berfikir dan berusaha, umat Islam maju di
zaman klasik karena mereka mementingkan ilmu pengetahuan, oleh karena itu
selama umat Islam masih bersifat jumud dan tidak mau berfikir untuk berijtihad,
tidak mungkin mengalami kemajuan, untuk itu perlu adanya pembaharuan yang
berusaha memberantas kejumudan.
Ketiga, umat
Islam selalu berpecah belah, maka umat Islam tidaklah akan mengalami kemajuan.
Umat Islam maju karena adanya persatuan dan kesatuan, karena adanya persaudaran
yang diikat oleh tali ajaran Islam. Maka untuk mempersatukan kembali umat Islam
bangkitlah suatu gerakan pembaharuan.
Keempat, hasil
dari kontak yang terjadi antara dunia Islam dengan Barat. Dengan adanya kontak
ini umat Islam sadar bahwa mereka mengalami kemunduran dibandingkan dengan
Barat, terutama sekali ketika terjadinya peperangan antara kerajaan Usmani
dengan negara-negara Eropa, yang biasanya tentara kerajaan Usmani selalu
memperoleh kemenangan dalam peperangan, akhirnya mengalami kekalahan-kekalahan
di tangan Barat, hal ini membuat pembesar-pembesar Usmani untuk menyelidiki
rahasia kekuatan militer Eropa yang aru muncul. Menurut mereka rahasianya
terletak pada kekuatan militer modern yang dimiliki Eropa, sehingga pembaharuan
dipusatkan di dalam lapangan militer, namun pembaharuan di bidang lain
disertakan pula.
Pembaharuan dalam Islam berbeda dengan
renaisans Barat. Kalau renaisans Barat muncul dengan menyingkirkan agama, maka
pembaharuan dalam Islam adalah sebaliknya, yaitu untuk memperkuat prinsip dan
ajaran-ajaran Islam kepada pemeluknya. Memperbaharui dan menghidupkan kembali
prinsip-prinsip Islam yang dilalaikan umatnya. Oleh karena itu pembaharuan
dalam Islam bukan hanya mengajak maju kedepan untuk melawan segala kebodohan
dan kemelaratan tetapi juga untuk kemajuan ajaran-ajaran agama Islam itu.
C. Muhammad bin
Abdul Wahhab
Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb memiliki
nama lengkap Muhammad bin ʿAbd al-Wahhāb bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin
Ahmad bin Rasyid bin Barid bin Muhammad bin al-Masyarif at-Tamimi al-Hambali
an-Najdi.
Muhammad bin Abdul Wahab (1115-1201
H/1703-1787 M) lahir di Uyainah (Nejed), lebih kurang 70 km arah barat laut
kota Riyadh, ibukota Arab Saudi sekarang. Ia tumbuh dan dibesarkan dalam kalangan keluarga
terpelajar. Ayahnya adalah
seorang tokoh agama di lingkungannya. Sedangkan kakeknya adalah seorang qadhi
(mufti besar), tempat di mana masyarakat Najd menanyakan
segala sesuatu masalah yang bersangkutan dengan agama.
Melihat keadaan umat islam yang
menurutnya sudah melanggar akidah, ia mulai merencanakan untuk menyusun sebuah
barisan ahli tauhid (muwahhidin) yang diyakininya sebagai gerakan
memurnikan dan mengembalikan akidah Islam. Oleh
lawan-lawannya, gerakan ini kemudian disebut dengan nama gerakan Wahabiyah.
Muhammad bin Abdul Wahab memulai pergerakan di kampungnya
sendiri, Uyainah. Ketika itu, Uyainah diperintah oleh seorang Amir (penguasa)
bernama Usman bin Muammar. Amir Usman
menyambut baik ide dan gagasan Muhammad,
bahkan beliau berjanji akan menolong dan mendukung perjuangan tersebut.
Pada permulaan gerakannya dia
bersama 600 orang tentara menghancurkan sebuah bangunan yang dibina di atas maqam
Zaid bin al-Khattab. Karena membuat bangunan di atas kubur menurut
pendapatnya dapat menjurus kepada kemusyrikan.
Pergerakan
Muhammad bin Abdul Wahab tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian
menghancurkan beberapa makam yang dipandangnya berbahaya bagi ketauhidan. Hal
ini menurutnya adalah untuk mencegah agar makam tersebut tidak dijadikan
objek peribadatan oleh masyarakat Islam setempat. Berita tentang pergerakan ini
akhirnya tersebar luas di kalangan masyarakat Uyainah mahupun di luar Uyainah.
Ketika pemerintah al-Ahsa' mendapat berita bahwa Muhammad
bin'Abd al-Wahhab mendakwahkan pendapat yang keras, Muhammad diusir dari Uyainah dan mengungsi ke daerah lain, Selanjutnya
Muhammad bin Abdul Wahab hijrah ke Dar’iyah (masih di wilayah Najd).
Sesampainya Muhammad di sebuah kampung wilayah Dariyah,
yang tidak berapa jauh dari tempat kediaman AmirMuhammad bin Saud (pemerintah negeri Dar’iyah),
menemui seorang penduduk di kampung itu, orang tersebut bernama Muhammad bin Sulaim al-`Arini.
Bermula dari sinilah Muhammad ibn Abdul Wahhab
mendapat dukungan dari amir Muhammad bin Saud serta masyarakat sekitar. Dengan demikian, Muhammad bin Abdul Wahab memperoleh
dukungan politik, moral, dan material dalam melaksanakan gerakannya.
Nama
Muhammad bin Abdul Wahab dengan ajaran-ajarannya itu sudah begitu
terdengar di kalangan masyarakat, baik di dalam negeri Dariyah maupun di negeri-negeri tetangga. Masyarakat
luar Dariyah pun berduyun-duyun datang ke Dariyah untuk menetap dan tinggal di
negeri ini, sehingga negeri Dariyah penuh sesak dengan kaum muhajirin dari
seluruh pelosok tanah Arab. Ia pun mulai membuka madrasah dengan menggunakan kurikulum yang menjadi teras bagi rencana
perjuangan beliau, yaitu bidang pengajian Aqaid al-Qur’an,
tafsir, fiqh, usul fiqh, hadith, musthalah hadith, gramatikanya dan
lain-lain.
Karena beliau memahami semua ajaran
yang tidak ada landasannya dalam Al Qur’an serta segala seuatu bentuk ajaran
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhhamad saw adalah bentuk bid’ah,
sedangkan semua bid’ah (hal yang baru) semua mesesarkan yang akan bermuara pada
api neraka.
Pemahamman ini dengan dukungan
penguasa ‘Ibn Suud’sampai saat ini dapat berkembang pesat dan banyak
pengikutnya bahkan menjadi mazhab resmi kerajaan, walaupun tidak sedikit pula
para ulama yang tidak sepahaman menentangnya.
Ia
melihat beberapa hal yang diidentifikasikan bisa membawa pada kemusyrikan dan
menjauhkan dari keteuhidan, yaitu :
a) Berdoa
kepada selain Allah untuk suatu hajat, atau berdoa kepada Allah sekaligus
kepada selain-Nya.
b)
Bertawasul kepada para Nabi dan orang-orang
saleh untuk bertaqarub kepada Allah
c)
Meminta perlindungan kepada makhluk
d)
Bersumpah atau bernadzar kepada selain Allah
e) Berziarah
kubur untuk mengharap doa dan meminta syafaat kepada yang telah meninggal
Muhammad bin `Abdul Wahab telah menghabiskan waktunya
selama 48 tahun lebih di Dar’iyah. Keseluruhan hidupnya diisi dengan kegiatan
menulis, mengajar, berdakwah dan berjihad serta mengabdi sebagai menteri
penerangan Kerajaan Saudi di Tanah Arab. Muhammad bin Abdulwahab berdakwah
sampai usia 92 tahun, beliau wafat pada tanggal 29 Syawal 1206 H, bersamaan
dengan tahun 1793 M, dalam usia 92 tahun. Jenazahnya dikebumikan di Dar’iyah
(Najd).
D. Pendudukan
Napoleon dan Pengaruhnya Terhadap Pembaharuan di Mesir
Setelah
selesai revolusi 1789 Prancis mulai menjadi negara besar yang mendapat saingan
dan tantangan dari Inggris. Inggris di waktu itu telah meningkat
kepentingan-kepentingannya di India dan untuk memutuskan komunikasi antara
Inggris di Barat dan India di Timur, Napoleon melihat bahwa Mesir perlu diletakkan di bawa kekuasaan Prancis. Di samping itu Prancis perlu pada
pasaran baru untuk hasil perindustriannya. Napoleon sendiri kelihatnnya mempunyai tujuan sampingan lain. Alexander Macedonia pernah menguasai Eropa dan Asia
sampai ke India, dan Napoleon ingin mengikuti
jejak Alexander ini. Tempat strategis untuk menguasai kerajaan besar
seperti yang dicita-citakannya itu, adalah Kairo dan bukan Roma atau Paris.
Inilah beberapa hal yang mendorong Perancis dan Napoleon untuk menduduki Mesir.
Bagaimana lemahnya pertahanan Kerajaan Usmani dan kaum Mamluk di ketika
itu, dapat digambarkan dari perjalanan
perang di Mesir. Napoleon mendarat di Alexandria pada tanggal 2 Juni 1798 dan
keesokan harinya kota pelabuhan yang penting ini jatuh.sembilan hari kemudian,
Rasyid, suatu kota yang terletak di
sebelah timur Alexadria, jatuh pula. Pada tanggal 21 Juli tentara Napoleon sampai di daerah piramid di dekat Kairo.
Pertempuran melawan terjadi di tempat itu dan kaum Mamluk karena tak sanggup
melawan senjata-senjata meriam Napoleon,
lari ke Kairo. Tetapi di sini mereka
tidak mendapat simpati dan sokongan dari rakyat Mesir. Akhirnya mereka
terpaksa lari lagi ke daerah Mesir sebelah selatan. Pada tanggal
22 Juli, tidak sampai tiga minggu setelah mendarat di Alexandaria, Napoleon
telah dapat menguasai Mesir.
Usaha Napoleon untuk menguasai daerah-daerah lainnya di Timur tidak
berhasil dan sementara itu perkembangan
politik di Prancis menghendaki
kehadirannya di Paris. Pada tanggal 18 Agustus 1799, ia
meninggalkan Mesir kembali ke tanah
airnya. Ekspedisi yang dibawanya ia tinggalkan di bawah pimpinan Jendral
Kleber. Dalam pertempuran yang terjadi
di tahun di tahun 1801 dengan armada
Inggris, kekuatan Prancis di Mesir mengalami kekalahan. Ekspedisi yang dibawa
Napoleon itu meninggalkan Mesir pada
tanggal 31 Agustus 1801.
Setelah persentuhan peradaban Eropa terhadap Mesir inilah, kondisi umat
Islam kian menata diri dan memperhitungkan kemungkinan langkah-langkah
modernisme yang bisa mengangkat citra kaum muslimin secara umum nantinya sebagai
negara maju melalui pemikiran-pemikiran cemerlang dan tercerahkan pada modernis
seperti Jamaluddin Al Afghani, Muhammad Abduh dan murid-muridnya.
E.
Muhammad
Ali Pasya
Beliau adalah seorang keturunan
Turki, lahir di Kawalla Yunani pada tahun 1765 M., meninggal di Mesir pada
tahun 1849 M. Sejak kecil ia membantu orang tuanya mencari nafkah sehingga
tidak sempat masuk sekolah. Karena kecakapannya, beliau dipercaya oleh Gubernur
Usmani dan kemudian masuk Dinas Militer dan berhasil menjadi perwira.
Setelah ekspedisi Napoleon
Bonaparte, muncul dua kekuatan besar di Mesir yakni kubu Khursyid Pasya dan
kubu Mamluk. Muhammad Ali mengadu domba kedua kubu tersebut, dan akhirnya
berhasil menguasai Mesir. Rakyat semakin simpati dan mengangkatnya sebagai wali
di Mesir. Posisi inilah kemudian memungkinkan beliau melakukan perobahan yang
berguna bagi masyarakat Mesir
F.
Al-Tahtawi
Nama lengkapnya adalah Rifa’ah
Badwi Rafi’, lahir pada tahun 1801 M. di Thahtha, dan meniggal di Kairo pada
tahun 1873 M. Ketika berumur 16 tahun, ia pergi ke Kairo dan belajar di al-Azhar. Karena kepintarannya, ia
diutus oleh Muhammad Ali ke Paris guna mendalami bahasa asing dan mempertajam
wawasan keagamaan dengan mengkaji teks-teks modern.
Beliau sangat berjasa dalam meningkatkan ilmu
pengetahuan di Mesir karena menguasai berbagai bahasa asing dan berhasil
mendirikan sekolah penerjemahan dan menjadikan bahasa asing tertentu sebagai
pelajaran wajib di sekolah.
G.
Jamaluddin
Al-Afgani
Beliau lahir di As’adabad,
dekat kota Kan’an di Kabul Afganistan pada tahun 1813 M. dan meninggal di
Istambul pada tahun 1887 M. Nama lengkapnya adalah Sayyid Jamaluddin al-Afgani
ibn Safar. Ia adalah keturunan Sayyid Ali al-Turmudzi. Jika ditelusuri
keturunannya, maka berasal dari Husain ibn Ali ibn Abi Thalib. Hal ini
tercermin dari gelar Sayyid yang disandangnya.
Afgany terkenal sebagai
muballig kondang dan suka berpindah dari satu daerah ke daerah lainnya untuk
membangkitkan semangat umat Islam untuk bangkit melawan penjajah Barat secara
bersatu. Salah satu idenya yang sangat terkenal adalah Pan Islamisme. Oleh
karena itu, beliau lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu di bidang politik
dibandingkan pembaharu di bidang pendidikan.
H.
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849.
ayahnya berasal dari Turki, sedangkan ibunya keturunan Arab. Abduh adalah salah
seorang murid Afgani. Beliau sangat terkenal khususnya dalam bidang pemikiran
rasional sehingga digelar New Muttazilah. Namun demikian, beliau tidak
ketinggalan dalam bidang pendidikan, bahkan setelah menamatkan studinya di
al-Azhar pada tahun 1877, beliau mengajar di berbagai tempat termasuk di
almamaternya sendiri
I.
Rasyid ridha
Ridha adalah murid Muhammad Abduh yang
terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di al-Qalamun (Libanon). Menurut keterangan,
ia berasal dari keturunan al-Husain, cucu Nabi saw. Oleh karena itu, ia
bergelar “al-Sayyid” di depan namanya.
Rasyid Ridha sangat terkenal bersama dengan Abduh (gurunya) menerbitkan
majalah al-Manar yang kemudian menjadi
sebuah tafsir modern yang bernama Tafsir al-Manar.
J. Qasyim amin
Qasyim Amin
lahir dipinggiran kota Kairo pada tahun 1863, ayahnya keturunan Qurdi, tetapi
menetap di Mesir, ia belajar hukum di Mesir kemudian melanjutkan ke Prancis
sebagai mahasiswa tugas belajar dari pemerintah untuk memperdalam ilmu hukum,
setelah selesai dan pulang ke Mesir ia bekerja pada pengadilan Mesir. Dalam hal
pembaharuan di masyarakat ia lebih mengutamakan dalam hal memperbaiki nasib
wanita. Ide inilah yang kemudian dikupas Qasyim Amin dalam bukunya tahrir
al-mar’ah (“emansipasi wanita”). Wanita yang terbelakang dan jumlahnya sekitar
seperdua dari jumlah penduduk Mesir, merupakan hambatan dalam pelaksanaan
pembaharuan, karena itu kebebasan dan pendidikan wanita perlu mendapat
perhatian. Ide Qasyim Amin yang banyak menimbulkan reaksi di zamannya ialah
pendapat bahwa penutupan wajah wanita bukanlah ajaran Islam.
Qasim amin
adalah seorang ahli hukum lulusan Prancis, menurut Muhammad Abduh sang guru
wanita dalam Islam memiliki kedudukan tinggi, tetapi adat istiadat dari luar
Islam yang mengubah wanita memiliki kedudukan rendah di masyarakat. Dengan ide
dari guru tersebut ia mengupas tentang emansipasi wanita ( Tahrir al-Mar`ah)
dengan berpendapat bahwa kaum wanita harus memperoleh pendidikan. Wa nita harus
diberikan hak yang sama dalam soal perkawinan, memilih jodoh dan hak menuntut
cerai serta menganjurkan monogami. Begitu juga tentang penutupan wajah wanita
bukan merupakan ajaran Islam. Penutupan wajah hanyalah kebiasaan yang kemudian
dianggap merupakan ajaran Islam. Wanita harus bergaul dengan kaum pria, tidak
ada pemisahan diantara keduanya.
Tidak
terdapat dalam Al-Qur’an dan Hadist adalah ajaran yang mengatakan bahwa wajah
wanita murupakan aurat dan oleh karena itu harus ditutup. Penutupan wajah
adalah kebiasaan yang kemudian dianggap sebagai ajaran Islam. Dan karena kritik
dan protes terhadap ide inilah Qasyim Amin melihat bahwa ia perlu memberi
jawaban yang keluar dalam bentuk buku bernama al-mar’ah al-jadilah (“wanita
modern”). Ide-ide ini, tentu ada yang setuju dan ada pula yang tidak setuju,
tapi sekarang ini usaha itu sudah dapat dirasakan hasilnya.
K. Sultan Mahmud II
Mahmud lahir
pada tahun 1785 dan mempunyai didikan tradisional, antara lain pengetahuan
agama, pengetahuan pemerintahan, sejarah dan sastra Arab, Turki dan Persia. Ia
diangkat menjadi Sultan di tahun 1807 dan meninngal di tahun 1839.
Di bagian
pertama dari masa kesultanannya ia disibukkan oleh peperangan dengan Rusia dan
usaha menundukkan daerah-daerah yang mempunyai kekuasaan otonomi besar,
peperangan dengan Rusia selesai di tahun 1812. Setelah kekuasaannya sebagai
pusat pemerintahan Kerajaan Usmani bertambah kuat, Sultan Mahmud II melihat
bahwa telah tiba masanya untuk memulai usaha-usaha pembaharuan yang telah lama
ada dalam pemikirannya.
Sultan Mahmud
II, dikenal sebagai Sultan yang tidak mau terikat pada tradisi dan tidak
segan-segan melanggar adat kebiasaan lama. Sultan-sultan sebelumnya menganggap
diri mereka tinggi dan tidak pantas bergaul dengan rakyat. Oleh karena itu,
mereka selalu mengasingkan diri dan meyerakan soal mengurus rakyat kepada
bawahan-bawahan. Timbullah anggapan mereka bukan manusia biasa dan
pembesar-pembesar Negara pun tidak berani duduk ketika menghadap Sultan.
Tradisi aristokrasi ini dilanggar oleh Mahmud II. Ia mengambil sikap
demokratis dan selalu muncul di muka umum untuk berbicara atau menggunting pita
pada upacara-upacara resmi. Menteri dan pembesar-pembesar negara lainnya ia
biasakan duduk bersama jika datang menghadap. Pakaiam kerajaan yang ditentukan
untuk Sultan dan pakaian kebesaran yang biasa dipakai Menteri dan
pembesar-pembesar lain ia tukar dengan pakaian yang lebih sederhana.
Perubahan
penting yang diadakan oleh Sultan Mahmud II dan yang kemudian mempunyai
pengaruh besar pada perkembangan pembaharuan di Kerajaan Usmani ialah perubahan
dalam bidang pendidikan. Seperti halnya di Dunia Islam lain di zaman itu,
Madrasah merupakan satu-satunya lembaga pendidikan umum yang ada di Kerajaan
Usmani. Di Madrasah hanya diajarkan agama sedangkan p-engetahuan umum tidak
diajarkan. Sultan Mahmud II sadar bahwa pendidikan Madrasah tradisional tidak
sesuai lagi dengan tuntutan zaman abad ke-19.
Selain itu,
Sultan Mahmud II juga mendirikan Sekolah Militer, Sekolah Teknik, Sekolah
Kedokteran dan Sekolah Pembedahan. Lulusan Madrasah banyak meneruskan pelajaran
di sekolah-sekolah yang baru didirikannya. Selain dari mendirikan Sekolah
Sultan Mahmud II juga mengirim siswa-siswa ke Eropa yang setelah kembali ke
tanah air juga mempunyai pengaruh dalam penyebaran ide-ide baru di Kerajaan
Usmani.Pembaharuan-pembaharuan yang diadakan Sultan Mahmud II diataslah yang
menjadi dasar bagi pemikiran dan usaha pembaharuan selanjutnya di Kerajaan
Usmani abad ke-19 dan Turki abad ke-20.
L. Tanzimat Usmani Muda
Periode tanzimat dalam sejarah peradaban Turkidi tandai dengan adanya
gerakan Tanzimat-i Khairiye atau Tanzimat. Yakni merupakan sebagai
lanjutan dari usaha-usaha yang dijalankan oleh Sultan Mahmud II yang banyak
mengadakan pembaharuan peraturan dan perundang-undangan. Tokoh-tokoh penting
tanzimat antara lain : Mustafa Rasyid Pasya, Mustafa Sami, Mehmed Sadek Rif’at
Pasya dan Ali Pasya
M. Usmani Muda
Sebagaimana dikatakan bahwa pembaharuan yang diusahakan dalam tanzimat
belumlah mendapat hasil sebagaimana yang diharapkan, bahkan mendapat
kritikan-kritikan dari luar kaum cendekiawan. Kegagalan oleh tanzimat dalam mengganti
konstitusi yang absolut merupakan cambuk untuk usaha-usaha selanjutnya. Untuk
mengubah kekuasaan yang absolut maka timbullah usaha atau gerakan dari kaum
cendikiawan melanjutkan usaha-usaha tanzimat. Gerakan ini dikenal dengan Young
Ottoman-Yeni Usmanilar (Gerakan Usmani Muda) yang didirikan pada tahun 1865.
Usmani muda
pada asalnya merupakan perkumpulan manusia yang didirikan di tahun 1865 dengan tujuan
untuk mengubah pemerintahan absolut kerajaan Usmani menjadi pemerintahan
konstitusional. Setelah rahasia terbuka pemuka-pemukanya lari ke Eropa di tahun
1867 dan disanalah gerakan mereka memperoleh nama Usmani Muda. Para tokoh
Usmani Muda banyak yang melakukan gerakan rahasia dalam menentang kekuasaan
absolut Sultan. Namun sikap politik mereka itu akhirnya diketahui oleh Sultan.
Akhirnya mereka banyak yang pergi ke Eropa dan disana mereka menyusun kekuatan.
Maka setelah situasi Turki aman kembali, mereka pun banyak yang pulang ke tanah
air dan meneruskan cita-cita mereka, terutama tentang ide-ide pembaharuan. Beberapa tokoh
dari gerakan itu membawa angin baru tentang demokrasi dan konstitusional
pemerintahan yang menjunjung tinggi kekuasaan rakyat bukan kekuasaan absolut.
Diantara tokoh itu ialah : Zia Pasya, Nanik Kemal, dan Midhat Pasya.
N. Turki Muda
Setelah
dibubarkannya parlemen dan dihancurkannya gerakan Usmani Muda, maka Sultan
Abdul Hamid memerintah dengan kekuasaan yang lebih absolut. Kebebasan berbicara
dan menulis tidak ada. Dalam suasana yang demikian timbullah gerakan oposisi
terhadap pemerintah yang obsolut Sultan Abdul Hamid sebagaimana halnya di zaman
yang lalu dengan Sultan Abdul Aziz. Gerakan oposisi
dikalangan perguruan tinggi, mengambil bentuk perkumpulan rahasia, dikalangan
cendekiawan dan pemimpin-pemimpinnya lari ke luar negeri dan disana melanjutkan
oposisi mereka dan gerakan di kalangan militer menjelma dalam bentuk
komite-komite rahasia.
Oposisi
berbagai kelompok inilah yang kemudian dikenal dengan nama Turki Muda.Tokoh-tokoh
Turki Muda, antara lain adalah Ahmad Riza (1859-1930), Mehmed Murad (1853-1912)
dan Pangeran Sahabuddin (1887-1948).
O. Aliran Pembaharuan Barat
Adapun gerakan pembaharuan yang mulai membuka diri terhadap pengaruh budaya
Barat adalah mereka yang di golongkan pada kaum modernis. Tokoh-tokohnya yang
terkemuka adalah Sayyid Ahmad Khan, Jamaluddin Al-Afghani, Muhammad Abduh, dan
Rasyid Ridha. Dari tokoh-tokoh tersebut, Sayyid Ahmad Khan tampak lebih
menekankan pada pemikiran yang rasional dan liberal. Seperti pendahulunya,
mereka juga menyerukan kepada umat Islam untuk kembali pada kemurnian dan
keaslian Islam, melakukan Ijtihad, menjauhi taklid dan fatalisme. Namun mereka
menganjurkan Umat Islam untuk membuka diri terhadap kemajuan Ilmu pengetahuan
dan teknologi yang datang dari dunia Barat, demi kemajuan umat Islam sendiri.
Tetapi mereka mengigatkan umat Islam agar tidak hanyut dalam budaya Asing. Di
antara usaha-usahanya ialah mendirikan sekolah-sekolah Islam modern, dan
mengambil langkah-langkah untuk pembaharuan dalam bidang sosial dan politik.
P. Aliran Pembaharuan Islam
Kriteria Islam yang dijadikan patokan kelompok ini dalam menggagas
pembaharuan tanpa membedakan latar belakang keturunan, suku bangsa. Tokoh
penting yang berperan dalam mempertahankan prinsip Islam sebagai dasar pembaharuan di Turki adalah Mehmed Akif (1870-1936). Ia sangat respek
terhadap nilai-nilai Islam sehingga segala sesuatu perlu dicermati dalam kaca
mata Islam.
Golongan Islam, terdiri
atas beberapa kelompok dan yang terkuat adalah kelompok Sirat-I Mustakim. Pembaharuan yang dianjurkan dalam Islam bukanlah westernisasi dalam arti pembaratan
dalam cara pikir, bertingkah laku dan sebagainya yang bertentangan dengan
ajaran Islam, akan tetapi pemikiran terhadap agama yang harus diperbaharui dan
direformir, pemikiran modern yang menimbulkan reformir dalam agama, dan hal ini
tidaklah mungkin timbul dari pola berfikir yang sempit. Penambahan ilmu pengetahuan,
memperluas pandangan terhadap keseluruhan soal kehidupan dapat melapangkan
pikiran dan memelihara keortodoksian agama.
Q. Aliran Pembaharuan Nasionalis
Golongan Nasionalis,
Nasionalisme adalah gagasan politik dan sosial yang terutama bertujuan
menyatukan setiap kelompok atau suku bangsa Arab dan menjadikan mereka patuh
kepada satu order politik (political order), Nasionalisme modern terbentuk atas
(kesamaan) bahasa, sejarah, kesastraan, adat istiadat dan kualitas-kualitas
tertentu. Secara garis besar, ikatan-ikatan yang mempersatukan
individu-individu menjadi suatu bangsa adalah ikatan-ikatan intelektual dan
material.
Aliran Nasionalisme ini adalah mereka yang sudah berusaha sekuat tenaga
mencoba berbagai alternatif dalam memecahkan berbagai problema kehidupan rakyat
Turki, dan bahkan mereka dianggap telah mengambil sintesis antara aliran
westernisme dengan islamisme. Usaha ini mereka lakukan untuk kepentingan yang
lebih mendesak mengingat terpecahnya berbagai golongan di Turki karena banyaknya
kepentingan diantara rakyat.
Kesadaran Nasionalisme Turki di kerajaan Usmani mulai timbul baru di
pertengahan kedua dari abad kesembilan belas. Kerajaan Usmani, yang daerah
kekuasaannya mencakup daerah-daerah Arab di sebelah timur dan daerah-daerah
Eropa timur di sebelah barat, mempunyai rakyat yang terdiri atas berbagai
bangsa yang menganut berbagai agama. Pada mulanya kriteria agamalah yang
dipakai untuk memperbedakan antara rakyat yang beraneka ragam kebangsaannya
itu. Rakyat dikelompokkkan menurut agamanya masing-masing dan istilah yang
dipakai untuk pengelompokkan itu ialah millet. Rakyat dibagi kedalam millet Islam, millet Kristen, millet yahudi, dan
sebagainya. Rakyat Turki dan rakyat Arab belum begitu sadar akan adanya
perbedaan bangsa antara mereka, karena mereka memeluk agama yang sama, dan oleh
karena itu termasuk dalam millet yang sama.
